Scrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace LayoutsScrolling Glitter Text Generator & Myspace Layouts

[tanpa judul] Karena Judul Tak Dapat Lagi Mengungkapkan Perasaan Saya  

Diposting oleh Penerbitan Economica

By Luluk Aulianisa

Siang itu terik sekali. Matahari tepat berada diatas kepala. Haus dan lapar menyerang, namun itu tidak menyurutkan niat saya untuk pulang ke rumah orang tua di Cirebon. Sedari jam 10 pagi, saya sudah sampai di Terminal Kampung Rambutan. Suasana disini sungguh penuh sesak. Orang-orang dengan segala tingkah polahnya menunjukkan aktivitasnya masing-masing. Sambil menunggu bus datang, saya berteduh di tempat tunggu penumpang. Suasana disitu begitu bising. Banyak pedagang asongan yang sudah wara-wiri sambil meneriakkan dagangannya. Huh, bikin pusing saja, padahal barang yang mereka jual sama semua.

Seketika pandangan saya tertuju kepada seorang Ibu yang menggendong anaknya yang kira-kira masih berumur 7 bulan dan Ibu itu sedang bertransaksi dengan seorang bapak paruh baya. Ternyata, ia seorang calo tiket. Ibu itu begitu gigih menawarkan tiket kepada bapak itu. Bapak itu pun akhirnya menyetujui transaksi yang ditawarkan si Ibu. Saya lihat senyum bahagia terpancar dari bibir si Ibu. Setelah berpanas-panasan, akhirnya ada juga yang mau membeli tiketnya,

Pandangan saya pun beralih. Saya melihat ada kakek tua menghampiri tempat duduk saya. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Bekas luka menyebar di lengan hingga jemari tangannya. Bajunya begitu lusuh dan compang-camping. rasanya, fungsi baju sebagai penutup aurat sudah tidak berlaku lagi, ya walaupun beliau masih memakai celana. Ups, ternyata sang kakek sudah tidak mempunyai kedua kaki. Cara berjalannya pun memakai tangan yang dialasi oleh sandal untuk pelindung panas. Tak sampai hati saya menolak uluran tangannya yang sudah keriput. Saya pun merogoh saku celana dan memberikan uang receh sekedarnya. Beliau menerimanya sambil komat-kamit. Entah apa yang diucapkannya, saya tidak begitu mendengarnya. Beliau pun bergegas pergi, kembali meminta-minta pada orang lain.

Lalu, pandangan saya jatuh pada sesosok anak kecil. Badannya kurus kering dan agak pendek. Bajunya lusuh dan kotor. Namun, saya tak habis pikir, mengapa bahu kiri kanannya begitu kuat membawa beban yang begitu berat ¿, Ia membawa cobek berukuran mini namun jumlahnya sampai 8 buah. Ia begitu gigih menawarkan dagangannya. Saya tertegun melihatnya. Harusnya ia tidak bekerja berat seperti itu? Ini bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Kemana orangtuanya yang harusnya jadi pelindung untuk anak-anaknya ¿ Orang tua menggunakan anaknya untuk mencari nafkah sungguh tidak adil.

Saya pun terdiam sejenak melihat pemandangan itu. Ingatan saya beralih pada usaha pedagang asongan yang tak henti-hentinya menawarkan barang dagangannya, sang Ibu menjual tiket ilegal dan kakek yang susah payah mengemis tanpa kedua kakinya.

Benarkah kemiskinan membuat orang rela mengorbankan harga dirinya ¿
Mengapa kakek tua itu dengan bangga memperlihatkan kecacatannya ¿ Mengapa orangtua si anak penjual cobek tega membiarkan anaknya mencari nafkah dengan cara seperti itu ¿

Sekilas. ingatan saya kembali pada beberapa hari yang lalu. Saya jadi ingat perjalanan dengan menggunakan KRL Jabotabek. Waktu itu, saya hendak pergi ke rumah nenek di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Kereta yang ditunggu akhirnya datang juga. Ternyata, penumpangnya banyak sekali. Didalamnya manusia berkumpul sudah layaknya cendol.

Bahkan, banyak yang sudah tidak takut lagi untuk naik di atap kereta. Mereka lebih mementingkan “kesejukan “ dari angin alam ketimbang keselamatan diri. Sungguh ironis! Di tengah himpitan penumpang, tetap ada saja pedagang yang “memaksakan” untuk berjualan. Padahal, tindakannya itu sungguh memperparah mobilitas penumpang. Pedagang ‘tidak tahu diri’ itu ada yang menjajakan aksesoris HP ataupun membawa gerobak mini yang berisikan minuman ringan, buah-buahan, tahu, otak-otak dan lainnya. Tentu saja, tindakan pedagang itu membuat kesal para penumpang, termasuk saya.

Oh, Tuhan,,begitu kerasnya hidup ini. Apapun dilakukan agar dapat uang. Apapun dilakukan agar dapat kenikmatan. Apapun dilakukan asal bapak senang. Padahal, apa yang mereka kerjakan itu bisa saja salah, bisa pula mempermalukan diri sendiri, bahkan lebih bisa lagi untuk merugikan orang lain. Saya tidak mengerti dengan pola pikir orang-orang seperti itu. Mungkin inilah yang menyebabkan bangsa kita ini suka mempermalukan diri sendiri. Ya, karena penduduknya juga seperti itu. Mulai dari kalangan birokrat hingga rakyat jelata. Semoga saya dan kalian bukan menjadi orang-orang seperti mereka.

Saya pun semakin larut dalam pikiran sambil menunggu bus yang akan dinaiki tiba.

This entry was posted on 03.56 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar